![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Prosedur Berperkara | Layanan Informasi | Jadwal Sidang | SIPP | APM |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
SIWAS MA RI | e - Court | Sukamas | Pelita | Validasi Akta Cerai |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
siMUPLI | Pojok | Kotak Kemajuan | SIGOA-SKM | SIYANTIS |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|
Cuti Tahunan | Izin Keluar Kantor | Apl Gugatan Mandiri | SURTI - SURVEI BADILAG |
Dalam Pengadilan Agama terdapat 2 perkara perceraian, yaitu cerai gugat dan cerai talak. Cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami, sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh isteri.[1]
Cerai gugat dan cerai talak diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Lebih lanjut pengaturan mengenai Cerai talak terdapat dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 72 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam ketentuan tersebut, seorang suami yang hendak menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.[2] Meskipun dalam perkara Cerai Talak menggunakan istilah permohonan, namun perkara ini digolongkan sebagai perkara contentius. Hal ini dikarenakan didalamnya mengandung unsur sengketa dan pemeriksaannya dilakukan dalam proses contradictoir.[3]
Setelah permohonan perkara cerai talak tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim dan memperoleh kekuatan hukum tetap, berdasarkan Pasal 70 ayat (3) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. Ikrar talak adalah pengakuan dan sumpah, mengakhiri atau memutus hubungan/ikatan suami-istri atas kehendak suami dengan kata talak atau sejenisnya.[4]
Lantas apakah pengucapan ikrar talak oleh suami dapat dikuasakan? Dan bagaimanakah pengaturannya?
Terdapat ketentuan “Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak” dalam Pasal 70 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal ini menyebabkan secara tegas undang-undang memberikan hak bagi pihak pemohon untuk menggunakan kuasa dalam pengucapan ikrar talak. Namun pemberian kuasa pengucapan ikrar talak tidak cukup dengan surat kuasa khusus biasa, melainkan harus menggunakan surat kuasa istimewa yang berbentuk akta otentik. Akta autentik berarti akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.[5] Pada prakteknya penggunaan kuasa istimewa dalam hal pengucapan ikrar talak biasanya berbentuk akta notaris maupun akta yang dibuat dihadapan panitera pengadilan. Di samping harus akta otentik, surat kuasa istimewa tersebut harus bersifat limitatif yaitu terbatas mengenai orang tertentu dan untuk perbuatan tertentu. Redaksionalnya harus secara tegas memberi kuasa untuk mengucapkan ikrar talak.[6]
Berdasarkan penjelasan di atas maka Pemohon cerai talak dapat mengkuasakan ikrar talak dengan menggunakan surat kuasa istimewa yang berbentuk akta otentik dan bersifat limitative.
[1] Muhhamad Ilham, Istilah-Istilah Penting Dalam Berpekara Cerai di Peradilan Agama, https://pa-serui.go.id/istilah-istilah-penting-dalam-berperkara-cerai-di-peradilan-agama/ diakses tanggal 2 Januari 2023
[2] Pasal 66 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
[3] A. Rasyid Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali, 1991, hlm .54-55
[4] PA Lubuk Pakam, Sidang Ikrar Talak Melalui Teleconference Antara Pengadilan Agama Ujung Tanjung dengan Pengadilan Agama Lubuk Pakam, https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita-daerah/sidang-ikrar-talak-melalui-teleconference-antara-pengadilan-agama-ujung-tanjung-dengan-pengadilan-agama-lubuk-pakam diakses pada tanggal 2 Januari 2023.
[5] Pasal 1868 KUHPerdata
[6] M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 231.
Kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dengan 4 badan peradilan dibawahnya, meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.[1] Masing-masing badan peradilan memiliki kewenangannya tersendiri sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
Kewenangan pada Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: [2]
Sedangkan kewenangan pada pengadilan negeri terdapat dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yaitu “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”.[3]
Kewenangan Dalam Memutus Perkara Pengangkatan Anak
Adanya perbedaan kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri menyebabkan tidak mungkinnya terjadi tumpang tindih antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Namun, pada praktiknya permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pengangkatan anak, sebagaimana penjelasan dari Pasal 49 huruf a angka 20 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 tentang Peradilan Agama, yaitu:
“Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
Sedangkan Pengadilan Negeri juga berwenang untuk memutus terkait pengangkatan anak sebagaimana amanat pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa untuk melakukan pengangkatan anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Perbedaan Pengangkatan Anak pada Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri
Perbedaan pengangkatan anak pada Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri terletak pada tujuan pengangkatan anak, apakah anak tersebut akan diangkat sebagai anak kandung ataupun hanya pemeliharaan anak.[4]
Pengadilan agama berwenang mengesahkan pengangkatan anak berdasarkan pada norma Islam dimana Islam tidak memperbolehkan mengangkat anak sebagai anak kandung, sebagaimana QS. Al Ahzab ayat 4:
مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِى جَوْفِهِۦ ۚ وَمَا جَعَلَ أَزْوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمْ ۚ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَٰهِكُمْ ۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى ٱلسَّبِيلَ
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
Lebih lanjut pengangkatan anak berdasarkan hukum islam adalah beralihnya tanggung jawab pemeliharaan anak dari orang tua asal kepada orang tua angkat dalam pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan. Selain itu pengangkatan anak dalam Pengadilan Agama mengakibatkan anak angkat tidak mendapat hak waris dari orang tua angkatnya.[5]
Lain halnya dengan pengangkatan anak yang diajukan pada pengadilan negeri. Permohonan anak angkat yang diajukan oleh Pemohon yang beragama Islam dilakukan dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila dimaksudkan untuk dipelihara, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama.[6]
[1] Pasal 18 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[2] Pasal 59 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 tentang Peradilan Agama
[3] Pasal 50 Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
[4] Kharisma Galu Gerhastuti, Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Dalam Pengangkatan Anak Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yang Beragama Islam, Diponegoro Law Journal, Vol. 6, No. 2, 2017, Hlm. 10
[5] Ibid.
[6] Buku II Edisi 2007 tentang Badan Peradilan Umum terbitan Makhamah Agung RI Tahun 2009